Selasa, 13 Juli 2010

kado cinta

pasar beringharjo - malioboro, sebuah malam yang kering.

Aku menyadari teronggok di tengah-tengah pasar nan ramai. berjalan sendiri di tengah keramaian tanpa ada yang aku kenal. Si Gendut Parsial tukang sayur itu terus saja menghitung duit hasilnya, katanya mau belikan buku untuk anaknya, jadi dia muter ke sana ke mari nggak ketemu-ketemu. aku tetap menyusuri jalan2 becek sempit pasar ini.

Tak sengaja mataku terbentur pada toko baju muslim. Wanita cantik berkerudung menghiasi toko itu menjadi penjaganya yang tampak ramah. The Art of beringharjo. sebuah seni di pasar nan ramai tampak hadir dihadapanku kini. aku coba memasuki toko itu.. sekedar melihat lihat awalnya. lalu mataku tertuju pada satu sudut berwarna hitam.

“Tidak! Jangan paksa aku membeli jilbab ini!” otakku berteriak histeris protes.

“Kenapa tidak? Apakah kamu ingin tetap menyiksa diri sendiri? Apakah kamu masih ingin membohongi diri sendiri?” hatiku berargumen dengan diplomatis. Ia pandai merangkai kalimat yang menjebakku pada pertanyaan yang aku tahu tak akan ada jawabannya.

“Akuilah kalau ia adalah seorang yang khusus. Yang menghiasi hari-harimu dengan warna-warni pelangi. Yang mengajarimu untuk menerima sebuah kegagalan. Yang membuatmu jauh lebih kuat dari hari ke hari. Yang membuatmu lebih dewasa. Yang tak mungkin lagi kamu hapus namanya dari….”

“Cukup!! Hentikan!!”

“Bukankah hanya kepadanya kamu bisa menulis puisi yang paling indah? Bukankah ia yang selalu hadir dalam pikiranmu ketika kamu sedang dalam sepi? Bukankah sebenarnya sedikitpun namanya tak pernah lepas dari perhatianmu? Bukankah kebersamaan dengannya — sekecil, seremeh apapun — selalu tersimpan dalam memori jangka panjang otakmu?

"Kamu sudah berbeda dengan yang dulu. Bukan saatnya lagi bersembunyi dan lari dari kenyataan. Mencoba menghapus namanya adalah perbuatan yang percuma. Ia sudah terlalu dalam menancap dalam hatimu. Tempatkanlah ia di tempat yang khusus, sebagai sebuah kenangan manis dimana kamu bisa tersenyum mengingatnya. Bukan senyum yang sedih lagi, tapi senyum bahagia…”

Tanganku kaku. Tenggelam dalam lamunan. Baru tersadar ketika penjaga nan cantik itu menegur ku. "mas.. nggolek'i opo.. ?'" tanya dengan bahasa khas jogja yang santun. Agak tergagap aku berjalan ke penjaga itu sambil membawa jilbab yang sedari tadi seperti menghipnotis ku.sedikti terlibat obrolan yang akhirnya meyakinkanku untuk merogoh kocek dan membayarnya.

Biarlah ini menjadi kado terakhirku. Kado tanda cinta yang terakhir untuknya…

walau aku tak ingin melupakannya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar